sound track of JMB

Jumat, 13 Februari 2009

Bagaimana Bila Kau Menjadi Aku Disini?

Holy Rapika

Aku menghampirinya, menghampiri wajahnya yang seperti terbelenggu senja. Dia lelah, namun campur marah. Ia membisu saat aku datang di muka pintu. Kalaupun ada yang bicara, mungkin hanya dua bola matanya. Keduanya seperti ingin berkata; aku sedang marah pada dunia, harap kau tahu dirimu adalah bagian dari dunia itu, jadi aku juga marah padamu!

Aku sebentar mematung, lalu bicara; ada apa? Dia terus membersihkan kamarnya yang sore itu berantakan. Tak juga keluar dari mulutnya satu kata, hingga di antara kami hanya tersisa kosong suara. 

Sial, dalam hati kubilang. Mengapa aku harus ada disini? menyapamu? melayani kemarahanmu? menjadi bagian dari duniamu yang hendak kau robek-robek itu? Sialnya juga, hatiku meneruskan, masak aku langsung pergi, tanpa tanya itu atau ini?. 

"Oh ya sudah, aku per...". "Dia berkhianat!" kalimat itu menghela kalimatku. Dia berhenti membereskan kamarnya lalu menatapku dengan tatap mata yang enggan punya harapan. "Dia berkhianat padaku" kali ini lebih lirih. 

"Ooh..." gua mulutku segera saja mengucap itu. Aku duduk lalu menghela nafas panjang, sebuah tanda persiapan. Dan benar saja, sekejap kemudian senja kami adalah cerita panjang pengkhianatan. Jika aku boleh memakai kata lain, dia bercerita tentang cinta, seperti senja 3 hari yang lalu, 2 minggu yang lalu, dan berkali-kali di bulan yang lalu. Cinta yang selalu sama; berulang-ulang dihempaskan Jamilah, nama pengkhianat cintanya. 

Aku temannya, dan sebagai temannya, aku tak punya kalimat lain untuk menggambarkan kecuali itu bahwa senja miliknya adalah senja yang muram karena pengkhiatan.

"Sepertinya, aku sudah lelah. Cukuplah aku berharap pada Jamilah. Menurutmu bagaimana?" katanya kemudian setelah ceritanya yang panjang. Aku menepuk bahunya, menghela nafas lagi, lalu berbisik "Ya sudahlah, lupakan saja Jamilah. Dia tak ada harganya untukmu. Sudah berapa kali dia berkhianat padamu? Dan sudah berulang kali kubilang padamu, pengkhianatan, meski itu sekali, bagiku tak bisa dimaafkan". 

"Ya..ya.. sudah saatnya memang", dia mengangguk-angguk seperti di senja 3 hari yang lalu, 2 minggu yang lalu, dan berkali-kali di bulan yang lalu. Dia menghela napas, memijit-mijit dahinya lalu keluar kamar sambil memencet nomor di handphonenya. Sayup-sayup aku mendengar dia sedang berbicara dengan seseorang di jauh sana; Jamilah-nya. 

Beberapa saat kemudian dia masuk kamar lagi. Menatapku dalam-dalam, lalu bilang "Sudah. Selesai sudah, ceritaku dengan Jamilah. Terima kasih, kau turut menguatkanku memutuskan ini". Ia menepuk-nepuk bahuku. Aku berusaha melihat wajahnya dalam-dalam. "Oh santai sajalah.." balasku singkat. Setelah memberi beberapa nasihat aku pamit dan keluar dari kamar itu. 

Beberapa langkah handphoneku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk, dari Jamilah :
"Kita harus bertemu esok, di tempat biasa. Dia akhirnya memutuskanku tadi. Jangan pernah bilang kau mengkhianati dia. Aku dan kamu bukan dia yang mempertemukan, tapi Tuhan.Sekarang kita tidak akan banyak berkata sialan. senja kita, sayang, adalah senja setia".

Aku masukkan lagi handphone ke saku celanaku. Bibirku tersenyum menang, entah untuk pengkhianatan atau kesetiaan...

Tidak ada komentar: